Senin, 04 April 2011

TANGGAP BENCANA UNTUK INDONESIA


Belum kering rasanya air mata kesedihan kita dari sebuah musibah, bencana kembali datang menerpa. Bencana laksana  gelombong air laut yang datang dan pergi silih berganti  disebuah pantai nan indah, ia datang tanpa diundang, pergi meninggalkan seribu kesedihan yang mendalam disetiap sudut yang disapunya. Ia meghapus lukisan-lukisan indah seniman di putihnya pasir pantai.
 Musibah memang tidak pernah dapat dihilangkan, datang tanpa ada tawar menawar sebelumnya, ia datang tanpa kompromi sedikitpun. Bencana datang tanpa pandang bulu, tidak melihat dari keturanan seseorang, harta yang dimiliki daftar panjang korbannya, jabatan yang diduduki manusia yang ditangisi kelurganya.
Semua yang dihampiri bencana harus rela mengeluarkan air mata kesedihan. Mereka tidak pernah menyangka akan menjadi salah satu pengisi deretan panjang korban bencana, semua datang tanpa ada pendeteksi yang bisa memastikan kapan bencana itu akan terjadi.
Jepang sebagai salah satu negara adidaya tidak bisa berkutik ketika bencana datang melanda. Walau menurut sebagian masyarakat dunia, negara matahari terbit itu canggih dengan peralatan teknologi, ternyata tetap saja takluk dihantam deras arus Tsunami.  Dalam catatan sejarah negara ini telah banyak menerima musibah. Mulai dari bom atom yang meluluhlantakkan kota Hisroshima dan Nagasaki, serentetan gempa, dan kesulitan lahan untuk pertumbuhan tanaman pangan.
Justru dengan musibah-musibah itu orang-orang jepang makin giat dan makin keras berfikir untuk mencari solusi bagi permasalahan yang ada di negara mereka itu. Mereka melakukan riset, mendirikan lembaga-lembaga riset, pencegahan, pengawasan dan juga pemulihan untuk menanggulangi bencana.  
Jepang memilki beberapa organisasi yang menanggani bencana alam diantaranuya Geologi Survei Japan (GSJ), Earth Remote Sensing Data Analysis Center (ERSDAC), dan Japan  Metorological Agency (JMA). JMA adalah badan utama yang mengamati jaringan pengamatan gempa berupa 200 alat seismograf dan 600 seimik intensif.
Jika ada kemungkinan Tsunami , maka JMA mengeuarkan peringatan Tsunami sekitar dua menit setelah gempa. Jika Tsunami terjadi pada wilayah yang jauh maka JMA akan melakukan koordinasi langsung dengan Pasifik Tsunami Warning Center yang bermarkas di Hawai.
 Ada sebuah pelajaran penting yang harus kita dalami antara musibah yang datang silih berganti tersebut. Pertama dari segi banyak korban yang meninggal dunia. Ketika Tsunami Aceh 168.163 jiwa melayang. Namun, Tsunami Jepang hanya menelan korban 21.459 jiwa.
Melihat fenomena itu, kita perlu banyak belajar dari negara yang dikenal dengan sabetan samurainya itu.  Kenapa korban mereka relatif sedikit dibandingkan korban yang melanda Tsunami di Aceh.
Salah satu alasannya adalah karena mereka telah terbiasa dengan bencana yang mereka jalani. Dilain pihak mereka telah punya koordinasi yang jelas antara masyarakat dan pemerintahnya ketika bahaya Tsunami datang.
Disamping itu, cepat tanggap bencana pemerintah Jepang langsung bertindak cepat untuk mengevakuasi korban agar tidak bertambah panjangnya deretan korban yang meninggal. Begitupun masyarakat selalu mematuhi aturan-aturan pemerintah dalam melaksanakan tindak lanjut siaga bencana.
Hal semacam inilah yang tidak kita temui di Indonesia, masyarakat selalu meremehkan aturan-aturan lembaga yang berperan aktif dalam penanggulangan bencana. Mereka hanya berbuat sekehendak hati saja tanpa mau memikirkan akibat yang akan ditimbulkan. Disatu sisi memang telah ada lembaga-lembaga penanggulangan bencana, bahkan setiap organisasi punya lembaga itu, namun dalam masa perekrutannya belum tersosialisasikan dengan baik. Alhasil, anggota yang kurang berkompeten dan profesional bermunculan.
Ditambah lagi pemerintah yang setengah hati dalam penanggulangan bencana, bahkan ada sekolompok oknum masyarakat yang mengambil keuntungan ditengah masyarakat yang ditimpah kemalangan tersebut. Salah satu contohnya kampanye partai politik dengan ribuan bendera partai ata organisai ditengah masyarakat yang dirundung kemalangan tersebut.
Tanggap bencana akan dapat terimplementasi dengan baik jika semua aspek yang diatas mendukung usaha penanggulangan bencana. Pemerintah dengan alat kekuasaannya dan warga negara dengan rasa kekelurgaannya bahu membahu untuk memberikan solusi atas bencana yang terjadi. Dengan demikianlah kita akan bisa merasakan Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang peduli dengan keadaan yang ada disekitarnya.


Penulis adalah Ade Saputra Piliang
Mahasisiwa UIN Jakarta Jurusan Pendidikan Bahasa Arab, Staff PSDA KSR PMI UIN Jakarta, dan Relawan PMI Jakarta Selatan  

CURHAT COLONGAN


Kutemukan Karya dan Cinta di FLP
Oleh : Ade Saputra Piliang.
Salam kepenulisan untuk kita semua.
Puji Syukur kepada tuhan Allah yang selalu memberikan rahmat dan nikmat, shalawat dan salam untuk nabi muhamad saw, sebagai editor al-Qur’an yang ditulis oleh zaid bin tsabit. 
Saya sangat kaget ketika mendapat sms dari kementrian pendidikan dan kebudayaan FLP Ciputat, dalam hati saya bertanya, kenapa harus saya yang menulis di modul FLP ini.  Masih banyak penulis-penulis lain yang sudah banyak merasakan asam garamnya dunia pena dan tinta ini.  
Kalau boleh jujur, saya bukanlah insan yang pengen jadi penulis, saya bukanlah orang yang suka membaca buku. Sejak saya dilahirkan kebumi Allah swt ini. Mungkin, saya belum sampai membeli 50 buah buku.  Ya, kalau baca buku paling cuma minjam sama teman atau ke perpustakaan.
Sampai malam inaugurasipun aku masih belum percaya dan yakin bahwa jalan hidupku ini adalah seorang penulis. Aku belum yakin bisa menjadi kuli tinta, aku belum percaya dengan coretan-coretanku yang terlalu kaku. Ketika kegalauan itu menghampiri, bang “boim lebon” memberikan sebuah sinar pencerahan, beliau menjelaskan bahwa menjadi penulis itu butuh proses. Semakin sering kita menulis maka coretan-coretan tersebut akan semakin bermakna dan indah. Jalani proses maka anda akan menemukan buah diakhirnya.  
Selain berkarya ada satu lagi yang saya dapatkan di FLP ini, ada cinta diantara para anggotanya, mengutip dari kata-katanya mbak Lina Marlina “Di FLP Ciputat kutemukan saudara sepenanggungan dikala sedih (kalau lagi pada bokek, royalti nggak turun-turun) dan senang  (royali turun, tulisan tembus, bisa traktir atau ditraktir) ^_^.” Tertawa bersama, menangis bersama. Merasa bangga ketika tulisan teman yang lain tembus sementara tulisan kita tidak. He.. he...
Secara umum, ada dua macam yang aku dapatkan di FLP Ciputat ini, emosional dan Profesional, secara emosional saya bisa merasakan akrabnya kekerabatan diantara para anggotanya. Secara profesional aku bisa melihat betapa setiap anggota wajib menulis di media-media, menjadi pengkritik, dan sebagai mentor atau bahkan menjadi pembicara dalam acara-acara kepenulisan. Setiap anggota ditentukan level mereka, ada Pramuda, Muda, Madya, dan Handal. Ketika kita ingin lebih baik tentu profesionalitas tentu harus dilambungkan. Semua itu bukan hal yang mudah tentunya.