Kamis, 22 November 2012

Untuk PON XVIII di Bumi Lancang Kuning


Pekan Olahraga Nasional (PON) adalah kompetisi olahraga multiiven paling akbar di Nusantara. Dari kompetisi yang diadakan sekali dalam empat tahun tersebut, akan terlahir atlet-atlet yang siap mewakili Indonesia di ajang internasional. Baik di tingkat Asia Tengggara, Asia, bahkan dunia (Olimpiade).
Maka, PON merupakan acara yang sangat didambakan oleh para pahlawan dunia olahraga. Dengan tampil di PON, mereka akan bisa memperlihatkan kompetensi yang mereka miliki di berbagai bidang olahraga. Selain itu, para atlet yang berhasil menyabet medali akan menambah harum tanah kelahiran mereka.
Di samping mencetak atlet-atlet yang berbakat di bidangnya. PON juga menjadi ajang silaturrahmi dan bukti pertumbuhan ekonomi kota penyelenggara acara. Dengan menjadi tuan rumah PON, daya tarik wisatawan dan marwah sebuah kota tuan rumah akan semakin nyaring terdengar dan menggelora.
Sebut saja PON pertama, yang diadakan pada tanggal 8-12 September 1948 di kota Solo, Jawa Tengah. Stadion Sriwedari yang menjadi arena peperangan para pahlawan olahraga ketika itu merupakan stadion terbaik di Indonesia. Hal senada juga terjadi pada PON XVIII yang dituanrumahi oleh masyarakat Bumi Lancang Kuning, Stadion Utama Riau adalah stadion yang termegah di Indonesia saat ini. 
Tiupan angin kegembiraan dan kesuksesan PON semakin hari semakin kencang terdengar, berbagai acara dan perlombaan digelar dalam menyambut sang juara di Bumi Melayu. Berbagai ungkapan dan sambutan tentang PON XVIII mewarnai setiap acara yang diadakan oleh masyarakat Bumi Lancang Kuning.
Oleh karenanya, menyukseskan PON XVIII 2012  adalah sebuah tanggung jawab yang mesti disukseskan oleh masyarakat Bumi Lancang Kuning. Siapun dia, di manapun dia berada, sebagai masrayakat Melayu Riau, menyukseskan acara PON XVIII di Riau adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Tidak bisa kita pungkiri, satu atau dua kasus telah menodai perhelatan akbar tersebut. Sebut saja para para pejabat pemerintah dan  pihak swasta yang terindikasi sebagai tikus berdasi dalam menggigit bendera kebesaran PON XVIII nan suci.
Namun, sebagai warga yang baik, tidak semestinya kita hanya menyalahkan dan mencela perbuatan mereka. Sebab, yang mesti mengetok palu atas kebersalahan mereka adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan penegak hukum lainnya.
Seyogyanya, yang kita lakukan adalah memperbaiki apa yang menjadi kekurangan mereka dalam mensukseskan PON XVIII di Riau tersebut. Merekatkan piring yang telah pecah oleh ulah mereka, menambal bendera yang telah ternoda oleh tingkah laku mereka, dan menyambung kayu yang telah patah oleh kedua tangan mereka.*** 
              # Telat Posting
Ket: Tulisan ini terbit di koran Riau Pos tanggal 7 September 2012 (http://www.riaupos.co/opini.php?act=full&id=1270&kat=3#sthash.bRjauC37.dpbs)

.

Selasa, 13 November 2012

Sarjana Pendusta Agama


Dalam sambutan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat menggritik para sarjana yang tidak mampu memberikan manfaat terhadap orang lain. Seorang sarjana mestinya punya kontribusi yang tidak sedikit bagi masyarakat sekitarnya. Orang yang telah dikukuhkan sebagai insan yang memiliki pengetahuan yang luas sesuai dengan makna toga yang dijunjung selayaknya selalu berada dalam garis terdepan dalam membela dan melindungi masyarakat.
Suara nyaring yang sering terdengar ketika mereka berdemonstrasi di berbagai lembaga Negara dulu, mestinya mampu dipraktekkan tatkala mereka telah berada dalam lingkaran masyarakat itu sendiri. Bukan malah ikut tergiring ke dalam lingkaran setan yang tidak mau memikirkan masyarakat kecil. Alhasil, Janji Prasetya yang diucapkan ketika upacara wisuda hanya akan menjadi simbolik dan tak bermakna.
Yang lebih naas lagi, dulu mereka mendemo oknum Negara yang besipat korup dan nepotisme, sekarang mereka didemo mahasiswa karena terliat praktek korup tersebut.
Acara wisuda yang mengangkat tema “Aktualisasi Kesalehan Sosial Untuk Kejayaan Bangsa” itu sangat mengaharapkan peran sarjana yang dilantik untuk berkiprah lebih giat lagi di masyarakat. Para wisudawan/i dituntut memberikan corak yang lebih baik dalam masyarakat, mereka mesti berinopasi dan berkreasi untuk kemaslahatan umat, bukan hanya tertuju melamar pekerjaan kesana-kemari yang berujung pada “penggadaian ijazah” mereka ke perusahaan-perusahan yang belum tentu berpihak kemasyarakat.
Mereka menjalankan loyalitas yang sangat berkualitas untuk memajukan perusahaan tempat mereka beraktifitas,  namun selalu menutup mata dan telinga walau sering melihat dan mendengar hubungan perusahaan tempat mereka bekerja kepada masyarakat sekitar tidak berjalan harmonis. Bahkan terkadang telah bersikap menindas.
Dalam konteks beragama, ternyata kesalehan sosial mampu menambal kekurangan yang ada pada kesalehan spritual, tengok saja ketika musim Haji tiba, berapa banyak jemaah haji yang membayar “dham” karena kurang sempurna menunaikan sarat atau rukun haji.
Ketika Ramadhan menjelma juga demikian adanya, berapa banyak yang mesti membayar satu mud makanan pokok karena tak mampu menunaikan kewajiban puasa. Apakah kendala itu karena menyusui atau sudah tua renta? Yang jelas ketika mereka sudah tidak mampu melakukan kesalehan spritual maka mesti ditambal dengan kesalehan sosial.
 Sebagai sarjana yang telah dikukuhkan dengan pakaian toga yang dibanggakan, semestinya kemanfaatan social menjadi niat awal dalam memasuki gerbang kehidupan bersama masyarakat. Sarjana mesti berbaur dan mencari cela-cela agar keberadaannya di masyarakat benar-benar bermanfaat.
Sebab ketika para sarjana telah lupa menjalankan misinya sebagai ujung tombak kebermanfaatan bagi masyarakat, maka samalah dia seperti sarjana pendusta agama. Mereka mengerti agama tapi abai dalam mempraktekkanya. Mereka punya kuasa untuk menjaga dan membantu masyarakat tapi enggan untuk melakoninya.
Dalam bahasa agama menyebutkan pendusta agama dengan ciri-ciri mereka yang suka menghardik anak yatim dan tidak mau menganjurkan dan memberi makan orang-orang miskin (QS: Al-ma’uun). Artinya orang-orang yang kebermanfaatannya secara social tidak terlihat maka dia adalah pendusta agama. Ketika sarjana tidak mampu memberi manfaat kepada masyarakat maka dia adalah bagian dari pendusta agama.