Senin, 27 Agustus 2012

Pungli di Sekitar Candi Muara Takus

Saat Idul Fitri, momentum silaturrahmi menjenguk sanak saudara yang masih hidup menjadi rutinitas yang tidak boleh dilewatkan, menziarah kubur sanak saudara yang telah dipanggil kehadirat Tuhan menjadi tradisi yang tak akan terlupakan. 

Bagi anak-anak, momentum Idul Fitri juga menjadi sesuatu yang mengesankan. 

Sebab, selain akan berjumpa dengan sanak saudara dan teman-teman sepermainan yang lain, mereka akan diajak untuk menikmati objek-objek wisata yang ada disekitar tempat tujuan.

Bagi masyarakat Riau  pada umumnya dan warga Kabupaten Kampar khususnya, Candi Muara Takus menjadi daya tarik tersendiri untuk bersilaturrahmi bersama sanak keluarga yang berada di sekitar Kecamatan XIII Koto Kampar dan Kampar Hulu. 

Sebab, selain menjenguk keluarga yang berada di sana, mereka juga akan memanfaatkan momen tersebut untuk mengenalkan Candi Muara Takus yang merupakan candi tertua di Indonesia kepada anak-anak mereka.

Namun, niat baik itu terkadang tidak menjadi kenyataan karena ada segelintir halangan yang selalu dipraktikkan. Yakni, ketika musim Idul Fitri tiba, di sekitar jalan menuju Candi Muara Takus banyak terdapat pungutan liar dengan modus meminta sumbangan.

Para remaja yang bertugas meminta pungutan tersebut menyebutnya sebagai sumbangan sukarela, namun jika kita tidak mengeluarkan uang ke kotak yang telah mereka siapkan, jangan harap bisa lewat, dan jika bisa lewatpun, maka tutuplah telinga. 

Sebab, jika tidak menutup telinga, bersiaplah mendengar suara yang kurang mengenakkan. 

Fenomena ini tentu tidak kita inginkan terjadi setiap tahun. Sebab,  jika rutinitas pungatan liar itu terus dibiarkan, sanak saudara yang mau berkunjung ke daerah Kecamatan XIII Koto Kampar dan Kampar Hulu akan semakin berkurang. 

Alhasil, sedikit banyaknya akan mempengaruhi wisatawan yang mau berkunjung ke Candi Muara Takus.  

Segunung harapan tertuju kepada Pemkab Kampar, khusus yang berada di sekitar Candi Muara Takus, untuk menertibkan pungutan liar yang bertebaran di sepanjang jalan menuju salah satu candi tertua di Indonesia tersebut. 

Pejabat daerah mesti peka terhadap pungutan-pungutan liar tersebut. Mereka seyogyanya menertibkan pungutan-pungatan liar itu. Hal ini dilakukan agar daya tarik Candi Muara Takus tidak dibayangi oleh pungutan-pungutan liar yang berada di sekitarnya. 

Jika daya tarik Candi Muara Takus telah menggema di masyarakat, maka objek wisata yang menjadi kebanggaan masyarakat Kampar tersebut akan banyak menyedot wisatawan.***  


Penulis: Ade Saputra Piliang,  penduduk Desa Bandur Picak, Kecamatan Koto Kampar Hulu, Kabupaten Kampar

Ket: Terbit Di koran Riau Pos pada Tanggal 28 Agustus 2012 ( http://www.riaupos.co/opini.php?act=full&id=1240&kat=3)