Selasa, 12 Juni 2012

Mengembalikan Citra Pendidikan Kita


Bagi mereka yang bergelut di bidang pendidikan, tanggal 2 Mei sungguh tidak akan bisa ia lewatkan begitu saja.

Tanggal kelahiran Ki Hajar Dewantara akan selalu dikenang sepanjang masa karena jasa yang telah ditorehkannya.

Hari yang bernilai sejarah tinggi itu akan selalu disakralkan hingga ke anak cucu bangsa secara turun-temurun.

Dunia pendidikan tidak akan pernah mati, berbagai kasus menggelutinya, mulai dari mereka yang terlibat langsung seperti guru, murid, kepala sekolah atau mereka yang tidak terlibat secara langsung seperti pemerintah, baik dari eksekutif maupun legislatif.

Para pendidik juga memilki kisah tersendiri, aksi suap-menyuap untuk mendapatkan gelar Pegawai Negeri Sipil (PNS) seolah sudah dianggap perbuatan yang tidak tabu.

Aksi tidak terhormat ini tidak lagi dilakukan di bawah namun telah menjalar ke atas meja dan dianggap sebagai sarat tidak tertulis.

Terlepas dari pro dan kontra keberlangsungan Ujian Nasional (UN), cerita yang terus bergulir menemani perjalanan UN juga memiliki rating teratas untuk direnungkan.

Tidak percaya dirinya kepala sekolah terhadap anak didiknya sering sekali menjadikan tindak kecurangan merajalela dalam perjalanan UN itu sendiri.

Di lain pihak, tidak meratanya sarana dan prasarana di antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lain terus menjadi senjata ampuh untuk menolak UN.

Hal ini diperparah lagi oleh paradigma pendidik yang lebih cendrung mengajar di kota. Desa-desa terisolir yang semestinya lebih diutamakan sering sekali ditinggal pergi oleh pendidik dengan berbagai alasan untuk bisa kembali ke tempat awal pendidik berdomisili.

Walaupun telah diberlakukannya waktu mengajar selama 24 jam perminggu, namun program ini belum mampu memaksimalkan pemerataan pendidikan di Indonesia.

Secara garis besar ada tiga macam sebab runtuhnya citra pendidikan di Indonesia. Pertama, tidak percaya diri. Sikap yang kurang baik ini telah melumpuhkan seluruh civitas akademika pendidikan di Indonesia.

Ia tidak hanya menggerogoti para murid, guru sebagai pelopor pendidikan juga telah terjangkiti, kepala sekolah sebagai ujung tombak dalam sebuah lembaga pendidikan tidak luput dari penyakit yang mematikan kreativitas tersebut.

Cerita contek-menyontek ketika ujian berlangsung, sudah menjadi hal yang jamak. Seorang pendidik membagikan kunci jawaban kepada murid yang sedang melakukan ujian, kepala sekolah yang memiliki tim khusus dalam program lulus 100 persen sekolah yang ia pimpin.

Cerita di atas adalah kisah yang sering dilakoni oleh pemilik mental tidak percaya diri.

Thantaway dalam Kamus Istilah Bimbingan dan Konseling menyebutkan, tidak percaya diri adalah mental diri seseorang yang tidak mampu meyakini kekuatan pada dirinya untuk melakukan kegiatan.

Akhirnya, orang yang memiliki mental tidak percaya diri akan menutup diri karena tidak percaya pada kemampuan yang ia miliki serta memiliki konsep diri yang negatif lainnya (Thantaway, 2005:87).

Banyak beredarnya kunci jawaban ketika UN berlangsung, SMS salah kirim dari teman yang berisi kunci jawaban ujian, longgarnya pengawasan untuk aksi contek-menyontek ketika ujian berlangsung.

Semua cerita di atas sungguh menggiurkan para pemilik mental tidak percaya diri. Namun, bagi mereka yang percaya akan kemampuan mereka sendiri tidak akan terusik oleh segelintir oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut.

Bagi mereka, apapun hasil yang akan diperoleh, kejujuran dan rasa percaya diri yang mesti dibanggakan.  

Kedua, penyakit ijazah. Banyak masyarakat di Indonesia begitu mendewakan selembar ijazah. Bagi mereka ijazah adalah segalanya, tanpa ijazah seseorang tidak akan memiliki pekerjaan yang layak.

Tanpa ijazah seseorang tidak akan mampu mengumpulkan pundi-pundi harta yang berlipat ganda. Tanpa ijazah seseorang tidak akan mampu menduduki tahta yang selalu diperebutkan sepanjang masa.

Rendall Collin (1979) meyebut penyakit masyarakat yang digambarkan di atas dengan masyarakat kredensial (credential). Paradigma masyarakat kredensial lebih mengacu kepada ijazah sebagai satu-satunya dalam menentukan keberhasilan seseorang.

Jika ingin memiliki jabatan yang tinggi maka ijazah yang dimiliki juga harus melebihi rata-rata orang yang berada perguruan tingi, jika ingin memiliki harta yang banyak, maka sertifikat dan lisensi juga harus bertumpuk banyak.

Lebih parahnya lagi, pola pikir yang keliru ini disambut hangat oleh lembaga-lembaga pendidikan. Menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal menjadikan penyakit gila ijazah ini semakin tumbuh subur.

Pada awalnya tuntutan masyarakat kredensial tidak akan mejadi permasalahan yang menggerogoti mutu pendidikan  Indonesia. Namun, ketika permintaan gelar meningkat secara drastis, maka kapitalis dan pragmatis akan merenggutnya perlahan-lahan.

Idealis yang pada awalnya terjaga dengan baik harus menerima kenyataan terjatuh ke lembah pragmatisme. Alhasil, hukum ekonomi pasar yang akan memiliki peran penting dalam dunia pendidikan.

Ketiga, pendidikan yang tidak merata. Tidak bisa kita pungkiri tingginya kesenjangan antara pendidikan di kota dengan pendidikan di desa-desa terpencil begitu mencolok.

Pendidik yang mengajar di sekolah-sekolah kota tentu memiliki daya pikir dan kompetensi yang lebih baik dibandingkan dengan pendidik yang mengajar di desa.

Sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah di desa tentu masih kalah jauh bila dibandingkan dengan lengkapnya sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah di kota.

Secara gamblang Andrea Hirata pernah menceritakan kesenjangan sekolah-sekolah di Indonesia dalam novel Laskar Pelangi yang fenomenal tersebut. Sekolah Muhammadiah Laskar Pelangi yang ia tempati ketika sekolah dasar sunguh jauh berbeda dengan sekolah PN Timah Belitong.

Dengan momentun Hardiknas tahun ini, mari kita gaungkan kembali nilai-nilai pendidikan yang mulai luntur.

Mari kita bangkitkan kembali semangat yang telah kendur oleh pergolakan zaman. Mari kita persiapkan tetesan air segar pendidikan untuk menghilangkan dahaga di hari kemudian. Mari kita tanam kembali generasi emas untuk dituai di masa mendatang.***

Ade Saputra P Pendidik di Yayasan Pondok Pesantren Alkaromah Aidarusy, Jakarta.

NB: Tulisan ini dimuat di koran Riau Pos Tanggal 05 Juni 2012 (http://www.riaupos.co/opini.php?act=full&id=1001&kat=1)