Catatan
kelam kembali menyelimuti perjalanan panjang dunia penerbangan bangsa Indonesia.
Adalah pesawat komersil Sukhoi Superjet 100 mengalami kehilangan kontak di
kawasan Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat pada petang Rabu (09/5) beberapa hari
yang lalu.
Alhamdulillah, sebelum 1 kali 24 jam lokasi jatuhnya pesawat buatan Rusia itu
telah ditemukan. Kecemasan akan terulang kembalinya kisah pesawat Adam Air
beberapa waktu lalu ditepis oleh kesigapan para reschue yang selalu
mendapat tugas mulia ditengah orang berduka. Sebab, helikopter NAS-332 Super
Puma Skuadron Udara 6 Atang Sendjaja telah menemukan dan mampu mengambil gambar
lokasi jatuhnya pesawat naas tersebut.
Tangisan
para keluarga korban yang tadinya telah berangsur berhenti kini kembali
terdengar. Sebab, tim evakuasi yang diestimasikan akan sampai ke titik lokasi
pada sore hari Kamis itu (10/5) ternyata tidak mampu menempus lebatnya hutan
Gunung Salak yang terkenal sebagai tempat uji nyali para pencinta alam di
negeri ini.
Penulis yang pernah bermalam di kawasan
Cidahu, Gunung Salak selama satu minggu ketika pelatihan Korp Suka Rela Palang
Merah Indonesia (KSR PMI) Unit Perguruan Tinggi UIN Syarif Hidayatullah
beberapa tahun yang lalu, juga merasakan hal yang sama akan kondisi alam yang
kurang bersahat di Gunung Salak tersebut. Sebut saja kabut yang selalu
menyelimuti di setiap sore, terjalnya pegunungan yang mesti didaki, banyaknya
bebatuan yang menyelimuti gunung tersebut dan masih banyak lagi kendala lainnya
yang harus dilalui. Maka sangat wajar jika tim evakuasi belum sampai ke titik
lokasi sebagaimana yang telah
diestimasikan.
Malang Tak
Dapat Ditolak
Orang
bijak sering mengatakan “malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat dipinta”
mungkin kata-kata itulah yang akan sering terdengar ketika kita membahas kecelakan
maut ini. Walau pesawat Sukhoi Superjet 100 memiliki sistem yang sangat canggih
seperti yang telah digembar-gemborkan ketika promosinya, namun tetap saja
menyisakan luka yang mendalam bagi mereka yang anggota keluarganya terlibat
dalam “Joy Fligh” tersebut.
Alexander Yablonstev dan kopilot Alexander
Kochetkop adalah orang yang mengepalai penerbangan tersebut. Mereka berdua
sudah dianggap senior dalam dunia penerbangan, maka asumsi yang akan kita
berikan ialah setiap aral yang melintang dalam penerbangan akan mampu mereka
lewati dengan baik.
Di lain pihak, kecanggihan Sukhoi Superjet
100 seperti yang dipromosikan, tidak dimungkinkan tanpa memiliki Ground
Proximity Warning System (GPWS) atau Terrain Awareness Warning System
(TAWS), walaupun keberadaan sistem ini pada pesawat naas tersebut masih menjadi
tanda tanya besar bagi para pengamat dunia Dirgantara sebagaimana yang kita
saksikan di berbagai media.
Namun
tidak begitu pada kenyataanya, pesawat
yang canggih dengan pilot yag terlatih juga menyisakan tragedi yang menyayat
hati. Walau pada penerbangan pertama berjalan dengan mulus, namun untuk
penerbangan kedua hanya menyisakan kenangan pahit yang sulit untuk dihapus.
Awal
mula musibah itu terjadi tatkala pilot meminta izin turun dari ketinggian
10.000 kaki (3.084 meter) ke 6000 kaki (1.829 meter) sebagaimana yang disampaikan
oleh Direktur Jendral Perhubungan Udara Herry Bhakti S tentang adanya
permintaan izin turun tersebut kepada Air Traffic Control (ATC) tepat
setelah 12 menit pesawat yang memiliki kapasitas penumpang antara 75-100 orang
ini mengudara dari Bandara Halim Perdanakusuma.
Ya,
itulah musibah yang kita tidak tahu kapan datang dan menerpa kita, musibah
tidak pernah mau memberikan kabar terlebih dahulu sebelum merenggut sanak
saudara kita. Sengaja tuhan rahasiakan ini kepada kepada kita agar kita selalu
mempersiapkan diri dengan ibadah serta hati-hati dan waspada.
Mantan
Presiden BJ Habibie yang juga ahli kontruksi pesawat terbang ketika diminta mengomentari
pesawat pembawa petaka ini hanya menyampaikan, “Bagus, ya desainnya, sayang (di
sini) ia peh (tidak beruntung), (Kompas, 11/5).
Faktor
keberuntunganlah yang belum berpihak pada pesawat Sukhoi Superjet 100 ini,
walau disebut sebagai pesawat modern, efisen secara ekonomi, serta cocok
dipasarkan di pasar global oleh tim pembuatnya, namun dewi fortuna masih
menjauh dari mereka.
Apa yang Mesti
Diprioritaskan?
Tugas primer yang mesti kita lakukan sekarang
adalah menemukan dan mengevakuasi korban, bukan malah memindahkan wacana dan
cerita pada seluk-beluk yang lain. Sebut saja mencari faktor penyebab kejadian
musibah tersebut, mencari dalang yang mesti bertanggung jawab atas inseden itu,
serta mencari sosok orang yang akan dijadikan “kambing hitam” dalam cerita duka
itu.
Badan Search and Reschue Nasional (BASARNAS),
Palang Merah Indonesia (PMI), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
adalah instansi yang mesti didahulukan dalam proses ini, mereka adalah
orang-orang yang mesti menjadi garda terdepan dalam musibah ini.
Sejatinya,
tim belum diperkenankan mencari kotak hitam (Blak ) sebelum semua korban ditemukan,
tim belum boleh mengevakusi jasad pesawat sebelum jasad korban sampai kepada
sanak keluarga yang tertimpa musibah. Sebab, dalam aturan pertolongan pertama
jiwa manusia lebih berharga dari benda yang mereka bawa.
Wacana
yang mesti diusung sekarang adalah bagaimana menemukan dan mengevakuasi korban
yang terdaftar dalam rentetan panjang cerita duka dunia Dirgantara, cerita yang
mesti dilantunkan saat ini adalah rasa berbelasungkawa terhadap anggota
keluarga yang tertimpa cerita duka.
Komisi
Nasional Keselematan Transfortasi (KNKT) yang dipercaya dalam mengurus
permasalahan transformasi di negeri ini seharusnya tidak berkomentar banyak
terlebih dahulu serta memberikan asumsi-asumsi yang membawa publik tergiring
dalam opini tersebut. Bukankah pada realitanya dan tradisi yang sudah-sudah,
KNKT baru bisa mengumumkan secara resmi tentang permasalahan kecelakaan pesawat
terbang setelah beberapa bulan kemudian.
Media
yang saat sekarang ini sudah dianggap sebagai “kitab suci”, sejatinya juga
membangun wacana tentang penyelamatan korban, bukan mengiring cerita tentang penyebab celakanya korban, media juga mestinya
lebih dahulu memfokuskan mencari korban, bukan mencari “kambing hitam” untuk
selanjutnya dikorbankan.
Pada akhirnya, penulis hanya berharap semoga
cerita duka dunia Dirgantara ini kembali pada titik awal yang diprioritaskan,
yakni penyelematan dan pengembalian korban kepada sanak keluarga mereka dengan
segera, bukan lebih fokus kepada mencari korban berikutnya. Kemudian ketika
penyelidikan nanti dilakukan, semangat yang dibangun adalah semangat untuk
mencegah terulangnya musibah serupa, bukan semangat menemukan dan menghukum
berat siapa yang bersalah.
Penulis adalah Ade Saputra Piliang (Humas Yayasan Alkaromah Aidarusy, Jakarta, aktif di KSR
PMI Unit UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2009-2011, asal Riau).
NB: Tulisan ini dimuat pada koran Riau Pos tanggal 12 Mei 2012 (http://www.riaupos.co/opini.php?act=full&id=930&kat=1)