Kampar
sudah dikenal semenjak zaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit sebagaimana yang
terdapat dalam buku Kertagama. Dalam pemahaman masyarakat Melayu Kampar tentang
asal-usul kata Kampar, yaitu dari kata ‘’Ta-Ampau’’ atau hampar atau boleh dikatakan suatu wilayah yang luas
membentang.
Kampar
pada masa pra sejarah dan masa kuno diketahui dengan ditemukan beberapa
kebudayaan batu besar berupa meja panjang dari dolmen, tugu peringatan
(menhir), tangga dari batu dan prasasti-prasasti paling tua, semua benda-benda
sejarah itu ditemukan di pinggir sungai
tepatnya di Desa Batu Bersurat.
Batu
bersurat sendiri dalam sejarahnya merupakan salah satu gerbang masuk ke ibu
kota Sriwijaya yang berada di muara takus. Nama batu bersurat sendiri diambil
dari kata batu bertulis yang diperkirakan ditulis pada zaman Kerajaan Sriwijaya
di Muara Takus yang ditulis dengan huruf-huruf Pallawa berukuran 2x3 meter.
Kawasan
Candi Muara Takus yang dibatasi tanggul kuno sekeliling sepanjang 4.000 meter
atau 104 hektare, memiliki empat bangunan candi yang telah direkonstruksi sejak
1970-an. Terdiri dari candi mahligai yang menjulang tinggi berbentuk pagoda,
candi tua yang megah dan besar, candi bungsu yang terdiri dari dua komponen
bangunan batu bata dan batu pasir, serta candi palangka yang kecil mungil.
Sementara
di halaman depan masih tersimpan beberapa struktur bangunan yang terpendam di
dalam tanah dalam bentuk gundukan tanah. Menurut para ahli purbakala, stupa ini
dibangun sekitar abad 4-9 Masehi.
Muara
Takus merupakan asal tempat penyebaran Buddha ke seluruh dunia setelah tempat
asal ajaran tersebut (India), mengalami perpecahan dan kemunduran. Muara Takus
dipimpin seorang guru besar bernama Salempa Svama Dvipa dianggap sebagai
pemersatu Buddha di seluruh dunia.
Ajarannya
ini diteruskan Divamkara Shrijnana yang belajar Buddha di Muara Takus selama 12
tahun yang kemudian menyebarkan Buddha ke Tibet, Cina dan Birma