Kamis, 22 November 2012

Untuk PON XVIII di Bumi Lancang Kuning


Pekan Olahraga Nasional (PON) adalah kompetisi olahraga multiiven paling akbar di Nusantara. Dari kompetisi yang diadakan sekali dalam empat tahun tersebut, akan terlahir atlet-atlet yang siap mewakili Indonesia di ajang internasional. Baik di tingkat Asia Tengggara, Asia, bahkan dunia (Olimpiade).
Maka, PON merupakan acara yang sangat didambakan oleh para pahlawan dunia olahraga. Dengan tampil di PON, mereka akan bisa memperlihatkan kompetensi yang mereka miliki di berbagai bidang olahraga. Selain itu, para atlet yang berhasil menyabet medali akan menambah harum tanah kelahiran mereka.
Di samping mencetak atlet-atlet yang berbakat di bidangnya. PON juga menjadi ajang silaturrahmi dan bukti pertumbuhan ekonomi kota penyelenggara acara. Dengan menjadi tuan rumah PON, daya tarik wisatawan dan marwah sebuah kota tuan rumah akan semakin nyaring terdengar dan menggelora.
Sebut saja PON pertama, yang diadakan pada tanggal 8-12 September 1948 di kota Solo, Jawa Tengah. Stadion Sriwedari yang menjadi arena peperangan para pahlawan olahraga ketika itu merupakan stadion terbaik di Indonesia. Hal senada juga terjadi pada PON XVIII yang dituanrumahi oleh masyarakat Bumi Lancang Kuning, Stadion Utama Riau adalah stadion yang termegah di Indonesia saat ini. 
Tiupan angin kegembiraan dan kesuksesan PON semakin hari semakin kencang terdengar, berbagai acara dan perlombaan digelar dalam menyambut sang juara di Bumi Melayu. Berbagai ungkapan dan sambutan tentang PON XVIII mewarnai setiap acara yang diadakan oleh masyarakat Bumi Lancang Kuning.
Oleh karenanya, menyukseskan PON XVIII 2012  adalah sebuah tanggung jawab yang mesti disukseskan oleh masyarakat Bumi Lancang Kuning. Siapun dia, di manapun dia berada, sebagai masrayakat Melayu Riau, menyukseskan acara PON XVIII di Riau adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Tidak bisa kita pungkiri, satu atau dua kasus telah menodai perhelatan akbar tersebut. Sebut saja para para pejabat pemerintah dan  pihak swasta yang terindikasi sebagai tikus berdasi dalam menggigit bendera kebesaran PON XVIII nan suci.
Namun, sebagai warga yang baik, tidak semestinya kita hanya menyalahkan dan mencela perbuatan mereka. Sebab, yang mesti mengetok palu atas kebersalahan mereka adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan penegak hukum lainnya.
Seyogyanya, yang kita lakukan adalah memperbaiki apa yang menjadi kekurangan mereka dalam mensukseskan PON XVIII di Riau tersebut. Merekatkan piring yang telah pecah oleh ulah mereka, menambal bendera yang telah ternoda oleh tingkah laku mereka, dan menyambung kayu yang telah patah oleh kedua tangan mereka.*** 
              # Telat Posting
Ket: Tulisan ini terbit di koran Riau Pos tanggal 7 September 2012 (http://www.riaupos.co/opini.php?act=full&id=1270&kat=3#sthash.bRjauC37.dpbs)

.

Selasa, 13 November 2012

Sarjana Pendusta Agama


Dalam sambutan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat menggritik para sarjana yang tidak mampu memberikan manfaat terhadap orang lain. Seorang sarjana mestinya punya kontribusi yang tidak sedikit bagi masyarakat sekitarnya. Orang yang telah dikukuhkan sebagai insan yang memiliki pengetahuan yang luas sesuai dengan makna toga yang dijunjung selayaknya selalu berada dalam garis terdepan dalam membela dan melindungi masyarakat.
Suara nyaring yang sering terdengar ketika mereka berdemonstrasi di berbagai lembaga Negara dulu, mestinya mampu dipraktekkan tatkala mereka telah berada dalam lingkaran masyarakat itu sendiri. Bukan malah ikut tergiring ke dalam lingkaran setan yang tidak mau memikirkan masyarakat kecil. Alhasil, Janji Prasetya yang diucapkan ketika upacara wisuda hanya akan menjadi simbolik dan tak bermakna.
Yang lebih naas lagi, dulu mereka mendemo oknum Negara yang besipat korup dan nepotisme, sekarang mereka didemo mahasiswa karena terliat praktek korup tersebut.
Acara wisuda yang mengangkat tema “Aktualisasi Kesalehan Sosial Untuk Kejayaan Bangsa” itu sangat mengaharapkan peran sarjana yang dilantik untuk berkiprah lebih giat lagi di masyarakat. Para wisudawan/i dituntut memberikan corak yang lebih baik dalam masyarakat, mereka mesti berinopasi dan berkreasi untuk kemaslahatan umat, bukan hanya tertuju melamar pekerjaan kesana-kemari yang berujung pada “penggadaian ijazah” mereka ke perusahaan-perusahan yang belum tentu berpihak kemasyarakat.
Mereka menjalankan loyalitas yang sangat berkualitas untuk memajukan perusahaan tempat mereka beraktifitas,  namun selalu menutup mata dan telinga walau sering melihat dan mendengar hubungan perusahaan tempat mereka bekerja kepada masyarakat sekitar tidak berjalan harmonis. Bahkan terkadang telah bersikap menindas.
Dalam konteks beragama, ternyata kesalehan sosial mampu menambal kekurangan yang ada pada kesalehan spritual, tengok saja ketika musim Haji tiba, berapa banyak jemaah haji yang membayar “dham” karena kurang sempurna menunaikan sarat atau rukun haji.
Ketika Ramadhan menjelma juga demikian adanya, berapa banyak yang mesti membayar satu mud makanan pokok karena tak mampu menunaikan kewajiban puasa. Apakah kendala itu karena menyusui atau sudah tua renta? Yang jelas ketika mereka sudah tidak mampu melakukan kesalehan spritual maka mesti ditambal dengan kesalehan sosial.
 Sebagai sarjana yang telah dikukuhkan dengan pakaian toga yang dibanggakan, semestinya kemanfaatan social menjadi niat awal dalam memasuki gerbang kehidupan bersama masyarakat. Sarjana mesti berbaur dan mencari cela-cela agar keberadaannya di masyarakat benar-benar bermanfaat.
Sebab ketika para sarjana telah lupa menjalankan misinya sebagai ujung tombak kebermanfaatan bagi masyarakat, maka samalah dia seperti sarjana pendusta agama. Mereka mengerti agama tapi abai dalam mempraktekkanya. Mereka punya kuasa untuk menjaga dan membantu masyarakat tapi enggan untuk melakoninya.
Dalam bahasa agama menyebutkan pendusta agama dengan ciri-ciri mereka yang suka menghardik anak yatim dan tidak mau menganjurkan dan memberi makan orang-orang miskin (QS: Al-ma’uun). Artinya orang-orang yang kebermanfaatannya secara social tidak terlihat maka dia adalah pendusta agama. Ketika sarjana tidak mampu memberi manfaat kepada masyarakat maka dia adalah bagian dari pendusta agama.
   

Senin, 27 Agustus 2012

Pungli di Sekitar Candi Muara Takus

Saat Idul Fitri, momentum silaturrahmi menjenguk sanak saudara yang masih hidup menjadi rutinitas yang tidak boleh dilewatkan, menziarah kubur sanak saudara yang telah dipanggil kehadirat Tuhan menjadi tradisi yang tak akan terlupakan. 

Bagi anak-anak, momentum Idul Fitri juga menjadi sesuatu yang mengesankan. 

Sebab, selain akan berjumpa dengan sanak saudara dan teman-teman sepermainan yang lain, mereka akan diajak untuk menikmati objek-objek wisata yang ada disekitar tempat tujuan.

Bagi masyarakat Riau  pada umumnya dan warga Kabupaten Kampar khususnya, Candi Muara Takus menjadi daya tarik tersendiri untuk bersilaturrahmi bersama sanak keluarga yang berada di sekitar Kecamatan XIII Koto Kampar dan Kampar Hulu. 

Sebab, selain menjenguk keluarga yang berada di sana, mereka juga akan memanfaatkan momen tersebut untuk mengenalkan Candi Muara Takus yang merupakan candi tertua di Indonesia kepada anak-anak mereka.

Namun, niat baik itu terkadang tidak menjadi kenyataan karena ada segelintir halangan yang selalu dipraktikkan. Yakni, ketika musim Idul Fitri tiba, di sekitar jalan menuju Candi Muara Takus banyak terdapat pungutan liar dengan modus meminta sumbangan.

Para remaja yang bertugas meminta pungutan tersebut menyebutnya sebagai sumbangan sukarela, namun jika kita tidak mengeluarkan uang ke kotak yang telah mereka siapkan, jangan harap bisa lewat, dan jika bisa lewatpun, maka tutuplah telinga. 

Sebab, jika tidak menutup telinga, bersiaplah mendengar suara yang kurang mengenakkan. 

Fenomena ini tentu tidak kita inginkan terjadi setiap tahun. Sebab,  jika rutinitas pungatan liar itu terus dibiarkan, sanak saudara yang mau berkunjung ke daerah Kecamatan XIII Koto Kampar dan Kampar Hulu akan semakin berkurang. 

Alhasil, sedikit banyaknya akan mempengaruhi wisatawan yang mau berkunjung ke Candi Muara Takus.  

Segunung harapan tertuju kepada Pemkab Kampar, khusus yang berada di sekitar Candi Muara Takus, untuk menertibkan pungutan liar yang bertebaran di sepanjang jalan menuju salah satu candi tertua di Indonesia tersebut. 

Pejabat daerah mesti peka terhadap pungutan-pungutan liar tersebut. Mereka seyogyanya menertibkan pungutan-pungatan liar itu. Hal ini dilakukan agar daya tarik Candi Muara Takus tidak dibayangi oleh pungutan-pungutan liar yang berada di sekitarnya. 

Jika daya tarik Candi Muara Takus telah menggema di masyarakat, maka objek wisata yang menjadi kebanggaan masyarakat Kampar tersebut akan banyak menyedot wisatawan.***  


Penulis: Ade Saputra Piliang,  penduduk Desa Bandur Picak, Kecamatan Koto Kampar Hulu, Kabupaten Kampar

Ket: Terbit Di koran Riau Pos pada Tanggal 28 Agustus 2012 ( http://www.riaupos.co/opini.php?act=full&id=1240&kat=3)

Selasa, 12 Juni 2012

Mengembalikan Citra Pendidikan Kita


Bagi mereka yang bergelut di bidang pendidikan, tanggal 2 Mei sungguh tidak akan bisa ia lewatkan begitu saja.

Tanggal kelahiran Ki Hajar Dewantara akan selalu dikenang sepanjang masa karena jasa yang telah ditorehkannya.

Hari yang bernilai sejarah tinggi itu akan selalu disakralkan hingga ke anak cucu bangsa secara turun-temurun.

Dunia pendidikan tidak akan pernah mati, berbagai kasus menggelutinya, mulai dari mereka yang terlibat langsung seperti guru, murid, kepala sekolah atau mereka yang tidak terlibat secara langsung seperti pemerintah, baik dari eksekutif maupun legislatif.

Para pendidik juga memilki kisah tersendiri, aksi suap-menyuap untuk mendapatkan gelar Pegawai Negeri Sipil (PNS) seolah sudah dianggap perbuatan yang tidak tabu.

Aksi tidak terhormat ini tidak lagi dilakukan di bawah namun telah menjalar ke atas meja dan dianggap sebagai sarat tidak tertulis.

Terlepas dari pro dan kontra keberlangsungan Ujian Nasional (UN), cerita yang terus bergulir menemani perjalanan UN juga memiliki rating teratas untuk direnungkan.

Tidak percaya dirinya kepala sekolah terhadap anak didiknya sering sekali menjadikan tindak kecurangan merajalela dalam perjalanan UN itu sendiri.

Di lain pihak, tidak meratanya sarana dan prasarana di antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lain terus menjadi senjata ampuh untuk menolak UN.

Hal ini diperparah lagi oleh paradigma pendidik yang lebih cendrung mengajar di kota. Desa-desa terisolir yang semestinya lebih diutamakan sering sekali ditinggal pergi oleh pendidik dengan berbagai alasan untuk bisa kembali ke tempat awal pendidik berdomisili.

Walaupun telah diberlakukannya waktu mengajar selama 24 jam perminggu, namun program ini belum mampu memaksimalkan pemerataan pendidikan di Indonesia.

Secara garis besar ada tiga macam sebab runtuhnya citra pendidikan di Indonesia. Pertama, tidak percaya diri. Sikap yang kurang baik ini telah melumpuhkan seluruh civitas akademika pendidikan di Indonesia.

Ia tidak hanya menggerogoti para murid, guru sebagai pelopor pendidikan juga telah terjangkiti, kepala sekolah sebagai ujung tombak dalam sebuah lembaga pendidikan tidak luput dari penyakit yang mematikan kreativitas tersebut.

Cerita contek-menyontek ketika ujian berlangsung, sudah menjadi hal yang jamak. Seorang pendidik membagikan kunci jawaban kepada murid yang sedang melakukan ujian, kepala sekolah yang memiliki tim khusus dalam program lulus 100 persen sekolah yang ia pimpin.

Cerita di atas adalah kisah yang sering dilakoni oleh pemilik mental tidak percaya diri.

Thantaway dalam Kamus Istilah Bimbingan dan Konseling menyebutkan, tidak percaya diri adalah mental diri seseorang yang tidak mampu meyakini kekuatan pada dirinya untuk melakukan kegiatan.

Akhirnya, orang yang memiliki mental tidak percaya diri akan menutup diri karena tidak percaya pada kemampuan yang ia miliki serta memiliki konsep diri yang negatif lainnya (Thantaway, 2005:87).

Banyak beredarnya kunci jawaban ketika UN berlangsung, SMS salah kirim dari teman yang berisi kunci jawaban ujian, longgarnya pengawasan untuk aksi contek-menyontek ketika ujian berlangsung.

Semua cerita di atas sungguh menggiurkan para pemilik mental tidak percaya diri. Namun, bagi mereka yang percaya akan kemampuan mereka sendiri tidak akan terusik oleh segelintir oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut.

Bagi mereka, apapun hasil yang akan diperoleh, kejujuran dan rasa percaya diri yang mesti dibanggakan.  

Kedua, penyakit ijazah. Banyak masyarakat di Indonesia begitu mendewakan selembar ijazah. Bagi mereka ijazah adalah segalanya, tanpa ijazah seseorang tidak akan memiliki pekerjaan yang layak.

Tanpa ijazah seseorang tidak akan mampu mengumpulkan pundi-pundi harta yang berlipat ganda. Tanpa ijazah seseorang tidak akan mampu menduduki tahta yang selalu diperebutkan sepanjang masa.

Rendall Collin (1979) meyebut penyakit masyarakat yang digambarkan di atas dengan masyarakat kredensial (credential). Paradigma masyarakat kredensial lebih mengacu kepada ijazah sebagai satu-satunya dalam menentukan keberhasilan seseorang.

Jika ingin memiliki jabatan yang tinggi maka ijazah yang dimiliki juga harus melebihi rata-rata orang yang berada perguruan tingi, jika ingin memiliki harta yang banyak, maka sertifikat dan lisensi juga harus bertumpuk banyak.

Lebih parahnya lagi, pola pikir yang keliru ini disambut hangat oleh lembaga-lembaga pendidikan. Menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal menjadikan penyakit gila ijazah ini semakin tumbuh subur.

Pada awalnya tuntutan masyarakat kredensial tidak akan mejadi permasalahan yang menggerogoti mutu pendidikan  Indonesia. Namun, ketika permintaan gelar meningkat secara drastis, maka kapitalis dan pragmatis akan merenggutnya perlahan-lahan.

Idealis yang pada awalnya terjaga dengan baik harus menerima kenyataan terjatuh ke lembah pragmatisme. Alhasil, hukum ekonomi pasar yang akan memiliki peran penting dalam dunia pendidikan.

Ketiga, pendidikan yang tidak merata. Tidak bisa kita pungkiri tingginya kesenjangan antara pendidikan di kota dengan pendidikan di desa-desa terpencil begitu mencolok.

Pendidik yang mengajar di sekolah-sekolah kota tentu memiliki daya pikir dan kompetensi yang lebih baik dibandingkan dengan pendidik yang mengajar di desa.

Sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah di desa tentu masih kalah jauh bila dibandingkan dengan lengkapnya sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah di kota.

Secara gamblang Andrea Hirata pernah menceritakan kesenjangan sekolah-sekolah di Indonesia dalam novel Laskar Pelangi yang fenomenal tersebut. Sekolah Muhammadiah Laskar Pelangi yang ia tempati ketika sekolah dasar sunguh jauh berbeda dengan sekolah PN Timah Belitong.

Dengan momentun Hardiknas tahun ini, mari kita gaungkan kembali nilai-nilai pendidikan yang mulai luntur.

Mari kita bangkitkan kembali semangat yang telah kendur oleh pergolakan zaman. Mari kita persiapkan tetesan air segar pendidikan untuk menghilangkan dahaga di hari kemudian. Mari kita tanam kembali generasi emas untuk dituai di masa mendatang.***

Ade Saputra P Pendidik di Yayasan Pondok Pesantren Alkaromah Aidarusy, Jakarta.

NB: Tulisan ini dimuat di koran Riau Pos Tanggal 05 Juni 2012 (http://www.riaupos.co/opini.php?act=full&id=1001&kat=1)

Senin, 21 Mei 2012

Cerita Duka Dunia Dirgantara



Catatan kelam kembali menyelimuti perjalanan panjang dunia penerbangan bangsa Indonesia. Adalah pesawat komersil Sukhoi Superjet 100 mengalami kehilangan kontak di kawasan Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat pada petang Rabu (09/5) beberapa hari yang lalu.
Alhamdulillah, sebelum 1 kali 24 jam lokasi jatuhnya pesawat buatan Rusia itu telah ditemukan. Kecemasan akan terulang kembalinya kisah pesawat Adam Air beberapa waktu lalu ditepis oleh kesigapan para reschue yang selalu mendapat tugas mulia ditengah orang berduka. Sebab, helikopter NAS-332 Super Puma Skuadron Udara 6 Atang Sendjaja telah menemukan dan mampu mengambil gambar lokasi jatuhnya pesawat naas tersebut.
Tangisan para keluarga korban yang tadinya telah berangsur berhenti kini kembali terdengar. Sebab, tim evakuasi yang diestimasikan akan sampai ke titik lokasi pada sore hari Kamis itu (10/5) ternyata tidak mampu menempus lebatnya hutan Gunung Salak yang terkenal sebagai tempat uji nyali para pencinta alam di negeri ini.
 Penulis yang pernah bermalam di kawasan Cidahu, Gunung Salak selama satu minggu ketika pelatihan Korp Suka Rela Palang Merah Indonesia (KSR PMI) Unit Perguruan Tinggi UIN Syarif Hidayatullah beberapa tahun yang lalu, juga merasakan hal yang sama akan kondisi alam yang kurang bersahat di Gunung Salak tersebut. Sebut saja kabut yang selalu menyelimuti di setiap sore, terjalnya pegunungan yang mesti didaki, banyaknya bebatuan yang menyelimuti gunung tersebut dan masih banyak lagi kendala lainnya yang harus dilalui. Maka sangat wajar jika tim evakuasi belum sampai ke titik lokasi  sebagaimana yang telah diestimasikan.

Malang Tak Dapat Ditolak
Orang bijak sering mengatakan “malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat dipinta” mungkin kata-kata itulah yang akan sering terdengar ketika kita membahas kecelakan maut ini. Walau pesawat Sukhoi Superjet 100 memiliki sistem yang sangat canggih seperti yang telah digembar-gemborkan ketika promosinya, namun tetap saja menyisakan luka yang mendalam bagi mereka yang anggota keluarganya terlibat dalam “Joy Fligh” tersebut.
   Alexander Yablonstev dan kopilot Alexander Kochetkop adalah orang yang mengepalai penerbangan tersebut. Mereka berdua sudah dianggap senior dalam dunia penerbangan, maka asumsi yang akan kita berikan ialah setiap aral yang melintang dalam penerbangan akan mampu mereka lewati dengan baik.
  Di lain pihak, kecanggihan Sukhoi Superjet 100 seperti yang dipromosikan, tidak dimungkinkan tanpa memiliki Ground Proximity Warning System (GPWS) atau Terrain Awareness Warning System (TAWS), walaupun keberadaan sistem ini pada pesawat naas tersebut masih menjadi tanda tanya besar bagi para pengamat dunia Dirgantara sebagaimana yang kita saksikan di berbagai media.
Namun tidak  begitu pada kenyataanya, pesawat yang canggih dengan pilot yag terlatih juga menyisakan tragedi yang menyayat hati. Walau pada penerbangan pertama berjalan dengan mulus, namun untuk penerbangan kedua hanya menyisakan kenangan pahit yang sulit untuk dihapus.
Awal mula musibah itu terjadi tatkala pilot meminta izin turun dari ketinggian 10.000 kaki (3.084 meter) ke 6000 kaki (1.829 meter) sebagaimana yang disampaikan oleh Direktur Jendral Perhubungan Udara Herry Bhakti S tentang adanya permintaan izin turun tersebut kepada Air Traffic Control (ATC) tepat setelah 12 menit pesawat yang memiliki kapasitas penumpang antara 75-100 orang ini mengudara dari Bandara Halim Perdanakusuma.
Ya, itulah musibah yang kita tidak tahu kapan datang dan menerpa kita, musibah tidak pernah mau memberikan kabar terlebih dahulu sebelum merenggut sanak saudara kita. Sengaja tuhan rahasiakan ini kepada kepada kita agar kita selalu mempersiapkan diri dengan ibadah serta hati-hati dan waspada.
Mantan Presiden BJ Habibie yang juga ahli kontruksi pesawat terbang ketika diminta mengomentari pesawat pembawa petaka ini hanya menyampaikan, “Bagus, ya desainnya, sayang (di sini) ia peh (tidak beruntung), (Kompas, 11/5).
Faktor keberuntunganlah yang belum berpihak pada pesawat Sukhoi Superjet 100 ini, walau disebut sebagai pesawat modern, efisen secara ekonomi, serta cocok dipasarkan di pasar global oleh tim pembuatnya, namun dewi fortuna masih menjauh dari mereka.

Apa yang Mesti Diprioritaskan?
 Tugas primer yang mesti kita lakukan sekarang adalah menemukan dan mengevakuasi korban, bukan malah memindahkan wacana dan cerita pada seluk-beluk yang lain. Sebut saja mencari faktor penyebab kejadian musibah tersebut, mencari dalang yang mesti bertanggung jawab atas inseden itu, serta mencari sosok orang yang akan dijadikan “kambing hitam” dalam cerita duka itu.  
 Badan Search and Reschue Nasional (BASARNAS), Palang Merah Indonesia (PMI), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) adalah instansi yang mesti didahulukan dalam proses ini, mereka adalah orang-orang yang mesti menjadi garda terdepan dalam musibah ini.
Sejatinya, tim belum diperkenankan mencari kotak hitam (Blak ) sebelum semua korban ditemukan, tim belum boleh mengevakusi jasad pesawat sebelum jasad korban sampai kepada sanak keluarga yang tertimpa musibah. Sebab, dalam aturan pertolongan pertama jiwa manusia lebih berharga dari benda yang mereka bawa.
Wacana yang mesti diusung sekarang adalah bagaimana menemukan dan mengevakuasi korban yang terdaftar dalam rentetan panjang cerita duka dunia Dirgantara, cerita yang mesti dilantunkan saat ini adalah rasa berbelasungkawa terhadap anggota keluarga yang tertimpa cerita duka.
Komisi Nasional Keselematan Transfortasi (KNKT) yang dipercaya dalam mengurus permasalahan transformasi di negeri ini seharusnya tidak berkomentar banyak terlebih dahulu serta memberikan asumsi-asumsi yang membawa publik tergiring dalam opini tersebut. Bukankah pada realitanya dan tradisi yang sudah-sudah, KNKT baru bisa mengumumkan secara resmi tentang permasalahan kecelakaan pesawat terbang setelah beberapa bulan kemudian.
Media yang saat sekarang ini sudah dianggap sebagai “kitab suci”, sejatinya juga membangun wacana tentang penyelamatan korban, bukan mengiring cerita tentang  penyebab celakanya korban, media juga mestinya lebih dahulu memfokuskan mencari korban, bukan mencari “kambing hitam” untuk selanjutnya dikorbankan.
  Pada akhirnya, penulis hanya berharap semoga cerita duka dunia Dirgantara ini kembali pada titik awal yang diprioritaskan, yakni penyelematan dan pengembalian korban kepada sanak keluarga mereka dengan segera, bukan lebih fokus kepada mencari korban berikutnya. Kemudian ketika penyelidikan nanti dilakukan, semangat yang dibangun adalah semangat untuk mencegah terulangnya musibah serupa, bukan semangat menemukan dan menghukum berat siapa yang bersalah.     
Penulis adalah Ade Saputra Piliang (Humas Yayasan Alkaromah Aidarusy, Jakarta, aktif di KSR PMI Unit UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2009-2011, asal Riau).


NB: Tulisan ini dimuat pada koran Riau Pos tanggal 12 Mei 2012 (http://www.riaupos.co/opini.php?act=full&id=930&kat=1)