Senin, 21 Mei 2012

Cerita Duka Dunia Dirgantara



Catatan kelam kembali menyelimuti perjalanan panjang dunia penerbangan bangsa Indonesia. Adalah pesawat komersil Sukhoi Superjet 100 mengalami kehilangan kontak di kawasan Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat pada petang Rabu (09/5) beberapa hari yang lalu.
Alhamdulillah, sebelum 1 kali 24 jam lokasi jatuhnya pesawat buatan Rusia itu telah ditemukan. Kecemasan akan terulang kembalinya kisah pesawat Adam Air beberapa waktu lalu ditepis oleh kesigapan para reschue yang selalu mendapat tugas mulia ditengah orang berduka. Sebab, helikopter NAS-332 Super Puma Skuadron Udara 6 Atang Sendjaja telah menemukan dan mampu mengambil gambar lokasi jatuhnya pesawat naas tersebut.
Tangisan para keluarga korban yang tadinya telah berangsur berhenti kini kembali terdengar. Sebab, tim evakuasi yang diestimasikan akan sampai ke titik lokasi pada sore hari Kamis itu (10/5) ternyata tidak mampu menempus lebatnya hutan Gunung Salak yang terkenal sebagai tempat uji nyali para pencinta alam di negeri ini.
 Penulis yang pernah bermalam di kawasan Cidahu, Gunung Salak selama satu minggu ketika pelatihan Korp Suka Rela Palang Merah Indonesia (KSR PMI) Unit Perguruan Tinggi UIN Syarif Hidayatullah beberapa tahun yang lalu, juga merasakan hal yang sama akan kondisi alam yang kurang bersahat di Gunung Salak tersebut. Sebut saja kabut yang selalu menyelimuti di setiap sore, terjalnya pegunungan yang mesti didaki, banyaknya bebatuan yang menyelimuti gunung tersebut dan masih banyak lagi kendala lainnya yang harus dilalui. Maka sangat wajar jika tim evakuasi belum sampai ke titik lokasi  sebagaimana yang telah diestimasikan.

Malang Tak Dapat Ditolak
Orang bijak sering mengatakan “malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat dipinta” mungkin kata-kata itulah yang akan sering terdengar ketika kita membahas kecelakan maut ini. Walau pesawat Sukhoi Superjet 100 memiliki sistem yang sangat canggih seperti yang telah digembar-gemborkan ketika promosinya, namun tetap saja menyisakan luka yang mendalam bagi mereka yang anggota keluarganya terlibat dalam “Joy Fligh” tersebut.
   Alexander Yablonstev dan kopilot Alexander Kochetkop adalah orang yang mengepalai penerbangan tersebut. Mereka berdua sudah dianggap senior dalam dunia penerbangan, maka asumsi yang akan kita berikan ialah setiap aral yang melintang dalam penerbangan akan mampu mereka lewati dengan baik.
  Di lain pihak, kecanggihan Sukhoi Superjet 100 seperti yang dipromosikan, tidak dimungkinkan tanpa memiliki Ground Proximity Warning System (GPWS) atau Terrain Awareness Warning System (TAWS), walaupun keberadaan sistem ini pada pesawat naas tersebut masih menjadi tanda tanya besar bagi para pengamat dunia Dirgantara sebagaimana yang kita saksikan di berbagai media.
Namun tidak  begitu pada kenyataanya, pesawat yang canggih dengan pilot yag terlatih juga menyisakan tragedi yang menyayat hati. Walau pada penerbangan pertama berjalan dengan mulus, namun untuk penerbangan kedua hanya menyisakan kenangan pahit yang sulit untuk dihapus.
Awal mula musibah itu terjadi tatkala pilot meminta izin turun dari ketinggian 10.000 kaki (3.084 meter) ke 6000 kaki (1.829 meter) sebagaimana yang disampaikan oleh Direktur Jendral Perhubungan Udara Herry Bhakti S tentang adanya permintaan izin turun tersebut kepada Air Traffic Control (ATC) tepat setelah 12 menit pesawat yang memiliki kapasitas penumpang antara 75-100 orang ini mengudara dari Bandara Halim Perdanakusuma.
Ya, itulah musibah yang kita tidak tahu kapan datang dan menerpa kita, musibah tidak pernah mau memberikan kabar terlebih dahulu sebelum merenggut sanak saudara kita. Sengaja tuhan rahasiakan ini kepada kepada kita agar kita selalu mempersiapkan diri dengan ibadah serta hati-hati dan waspada.
Mantan Presiden BJ Habibie yang juga ahli kontruksi pesawat terbang ketika diminta mengomentari pesawat pembawa petaka ini hanya menyampaikan, “Bagus, ya desainnya, sayang (di sini) ia peh (tidak beruntung), (Kompas, 11/5).
Faktor keberuntunganlah yang belum berpihak pada pesawat Sukhoi Superjet 100 ini, walau disebut sebagai pesawat modern, efisen secara ekonomi, serta cocok dipasarkan di pasar global oleh tim pembuatnya, namun dewi fortuna masih menjauh dari mereka.

Apa yang Mesti Diprioritaskan?
 Tugas primer yang mesti kita lakukan sekarang adalah menemukan dan mengevakuasi korban, bukan malah memindahkan wacana dan cerita pada seluk-beluk yang lain. Sebut saja mencari faktor penyebab kejadian musibah tersebut, mencari dalang yang mesti bertanggung jawab atas inseden itu, serta mencari sosok orang yang akan dijadikan “kambing hitam” dalam cerita duka itu.  
 Badan Search and Reschue Nasional (BASARNAS), Palang Merah Indonesia (PMI), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) adalah instansi yang mesti didahulukan dalam proses ini, mereka adalah orang-orang yang mesti menjadi garda terdepan dalam musibah ini.
Sejatinya, tim belum diperkenankan mencari kotak hitam (Blak ) sebelum semua korban ditemukan, tim belum boleh mengevakusi jasad pesawat sebelum jasad korban sampai kepada sanak keluarga yang tertimpa musibah. Sebab, dalam aturan pertolongan pertama jiwa manusia lebih berharga dari benda yang mereka bawa.
Wacana yang mesti diusung sekarang adalah bagaimana menemukan dan mengevakuasi korban yang terdaftar dalam rentetan panjang cerita duka dunia Dirgantara, cerita yang mesti dilantunkan saat ini adalah rasa berbelasungkawa terhadap anggota keluarga yang tertimpa cerita duka.
Komisi Nasional Keselematan Transfortasi (KNKT) yang dipercaya dalam mengurus permasalahan transformasi di negeri ini seharusnya tidak berkomentar banyak terlebih dahulu serta memberikan asumsi-asumsi yang membawa publik tergiring dalam opini tersebut. Bukankah pada realitanya dan tradisi yang sudah-sudah, KNKT baru bisa mengumumkan secara resmi tentang permasalahan kecelakaan pesawat terbang setelah beberapa bulan kemudian.
Media yang saat sekarang ini sudah dianggap sebagai “kitab suci”, sejatinya juga membangun wacana tentang penyelamatan korban, bukan mengiring cerita tentang  penyebab celakanya korban, media juga mestinya lebih dahulu memfokuskan mencari korban, bukan mencari “kambing hitam” untuk selanjutnya dikorbankan.
  Pada akhirnya, penulis hanya berharap semoga cerita duka dunia Dirgantara ini kembali pada titik awal yang diprioritaskan, yakni penyelematan dan pengembalian korban kepada sanak keluarga mereka dengan segera, bukan lebih fokus kepada mencari korban berikutnya. Kemudian ketika penyelidikan nanti dilakukan, semangat yang dibangun adalah semangat untuk mencegah terulangnya musibah serupa, bukan semangat menemukan dan menghukum berat siapa yang bersalah.     
Penulis adalah Ade Saputra Piliang (Humas Yayasan Alkaromah Aidarusy, Jakarta, aktif di KSR PMI Unit UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2009-2011, asal Riau).


NB: Tulisan ini dimuat pada koran Riau Pos tanggal 12 Mei 2012 (http://www.riaupos.co/opini.php?act=full&id=930&kat=1)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar