Dalam
sambutan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof.
Dr. Komaruddin Hidayat menggritik para sarjana yang tidak mampu memberikan manfaat
terhadap orang lain. Seorang sarjana mestinya punya kontribusi yang tidak sedikit
bagi masyarakat sekitarnya. Orang yang telah dikukuhkan sebagai insan yang memiliki
pengetahuan yang luas sesuai dengan makna toga yang dijunjung selayaknya selalu
berada dalam garis terdepan dalam membela dan melindungi masyarakat.
Suara
nyaring yang sering terdengar ketika mereka berdemonstrasi di berbagai lembaga
Negara dulu, mestinya mampu dipraktekkan tatkala mereka telah berada dalam lingkaran
masyarakat itu sendiri. Bukan malah ikut tergiring ke dalam lingkaran setan
yang tidak mau memikirkan masyarakat kecil. Alhasil, Janji Prasetya yang
diucapkan ketika upacara wisuda hanya akan menjadi simbolik dan tak bermakna.
Yang
lebih naas lagi, dulu mereka mendemo oknum Negara yang besipat korup dan nepotisme,
sekarang mereka didemo mahasiswa karena terliat praktek korup tersebut.
Acara
wisuda yang mengangkat tema “Aktualisasi Kesalehan Sosial Untuk Kejayaan Bangsa”
itu sangat mengaharapkan peran sarjana yang dilantik untuk berkiprah lebih giat
lagi di masyarakat. Para wisudawan/i dituntut memberikan corak yang lebih baik dalam
masyarakat, mereka mesti berinopasi dan berkreasi untuk kemaslahatan umat,
bukan hanya tertuju melamar pekerjaan kesana-kemari yang berujung pada
“penggadaian ijazah” mereka ke perusahaan-perusahan yang belum tentu berpihak kemasyarakat.
Mereka
menjalankan loyalitas yang sangat berkualitas untuk memajukan perusahaan tempat
mereka beraktifitas, namun selalu menutup
mata dan telinga walau sering melihat dan mendengar hubungan perusahaan tempat mereka
bekerja kepada masyarakat sekitar tidak berjalan harmonis. Bahkan
terkadang telah bersikap menindas.
Dalam konteks beragama, ternyata kesalehan sosial mampu menambal kekurangan yang ada pada kesalehan spritual, tengok saja
ketika musim Haji tiba, berapa banyak jemaah haji yang membayar “dham” karena
kurang sempurna menunaikan sarat atau rukun haji.
Ketika Ramadhan menjelma juga demikian adanya, berapa
banyak yang mesti membayar satu mud makanan pokok karena tak mampu menunaikan
kewajiban puasa. Apakah kendala itu karena menyusui atau sudah tua renta? Yang
jelas ketika mereka sudah tidak mampu melakukan kesalehan spritual maka mesti
ditambal dengan kesalehan sosial.
Sebagai sarjana yang telah dikukuhkan dengan pakaian toga yang
dibanggakan, semestinya kemanfaatan social menjadi niat awal dalam memasuki
gerbang kehidupan bersama masyarakat. Sarjana mesti berbaur dan mencari
cela-cela agar keberadaannya di masyarakat benar-benar bermanfaat.
Sebab
ketika para sarjana telah lupa menjalankan misinya sebagai ujung tombak
kebermanfaatan bagi masyarakat, maka samalah dia seperti sarjana pendusta
agama. Mereka mengerti agama tapi abai dalam mempraktekkanya. Mereka punya
kuasa untuk menjaga dan membantu masyarakat tapi enggan untuk melakoninya.
Dalam
bahasa agama menyebutkan pendusta agama dengan ciri-ciri mereka yang suka
menghardik anak yatim dan tidak mau menganjurkan dan memberi makan orang-orang
miskin (QS: Al-ma’uun). Artinya orang-orang yang kebermanfaatannya secara social
tidak terlihat maka dia adalah pendusta agama. Ketika sarjana tidak mampu memberi
manfaat kepada masyarakat maka dia adalah bagian dari pendusta agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar